ikhlas

Makna Ke Ikhlasan

“Dan mereka tidak diperintah, kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan di dalam menjalankan ajaran agama”. (al-Bayyinah:5)

Keikhlasan adalah inti dan ruh peribadatan. Ibnu Hazm berkata, niat adalah rahasia peribadatan. Kedudukan niat terhadap amal sama dengan kedudukan ruh terhadap jasad. Mustahil apabila peribadatan itu hanya berupa amalan yang tidak ada ruhnya sama sekali, seperti jasad yang teronggok.

Ikhlas adalah dasar diterima atau ditolaknya suatu amalan, dan juga kunci untuk menuju kemenangan atau kerugian yang abadi, jalan menuju sorga atau neraka. Manakala keikhlasannya itu cacat maka ia akan membawa pelakunya menuju neraka, tetapi manakala keikhlasan bisa terealisasikan maka ia akan membawa pelakunya menuju sorga.

Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (al-Kahfi:110)

Makna Ikhlas

Ikhlas berasal dari kata khalasha, maknanya yaitu kejernihan dan hilangnya segala sesuatu yang mengotorinya. Dengan demikian, kata ikhlash menunjukkan kepada sesuatu yang jernih, bersih dan bebas dari campuran dan kotoran. Di antara makna ikhlas menurutb ulama’ adalah “Amal yang dilakukan hanya karena Allah, tidak untuk selain Allah”

Orang yang Ikhlas (mukhlis) adalah orang yang tidak peduli apakah keluar seluruh kemampuannya di hati orang lain karena kebenaran hatinya terhadap Allah, dan dia tidak ingin menampakkan amalnya meskipun hanya sebiji sawi kepada orang lain

Beratnya Meraih Kesempurnaan Ikhlas

Para salaf mengakui, bahwa merealisasikan ikhlas dan memperbaiki niat adalah perkara yang sangat sulit. Ini dikarenakan hati kita memiliki sifat suka berubah dan berbolak-balik, sehingga bisa jadi seseorang pada mulanya berniat ikhlas, namun di tengah jalan niatnya ternodai atau bahkan berubah. Demikian pula sebaliknya ada yang mulanya salah dalam niat, namun akhirnya tahu akan kekeliruannya, lalu memperbaiki niat tersebut.

Maka mengetahui berbagai persoalan yang berkaitan dengan keikhlasan amat perlu bagi kita, sebagai salah satu upaya menjaga hati, agar senantiasa lurus tertuju kepada Allah. Tidak goyah oleh segala gangguan dan godaan, baik was-was syetan maupun segala yang dicenderungi oleh hawa nafsu.

Keikhlasan yang sempurna amat-lah sulit digambarkan, kecuali oleh orang yang telah menyerahkan cinta-nya secara utuh kepada Allah dan mengutamakan akhirat. Apalagi mengingat, bahwa manusia memiliki sifat banyak lupa dan mempunyai kecenderungan yang besar terhadap kehidupan duniawi, bahkan banyak pula yang terpedaya olehnya.

Biasanya keikhlasan akan sulit untuk menembus hati orang yang telah terpesona dan tergantung dengan kehidupan dunia, kecuali atas taufik dari Allah. Jangan jauh-jauh, kita tengok dalam hati kita masing-masing dalam hal yang ringan saja, seperti makan atau tidur misalnya, kita melakukan itu biasanya karena memang kita menginginkannya. Jarang terbetik di dalam pikiran kita ketika melakukan itu adalah agar badan kita kuat dan sehat, sehingga dapat melakukan ibadah kepada Allah dengan baik. Demikian pula dalam melakukan berbagai amal yang lain, kita sering merasakan adanya berbagai bisikan dan gangguan yang menggerogoti kemurnian niat ikhlas kita kepada Allah.

Maka selayaknya masing-masing kita bersikap waspada, membentengi diri, memusatkan niat dan tujuan pada keikhlasan yang sempurna, jangan hiraukan was-was syetan, sebab was-was dan bisikan syetan akan menghancurkan dan melemahkan kita. Dan ketika amal-amal shaleh yang kita kerjakan terkena polusi, maka janganlah merasa lemah, sebab kotoran-kotoran tersebut dapat dihilangakan, sehingga amal tersebut menjadi benar-benar jernih dan tidak hilang pahalanya.

Bila Keikhlasan Ternodai

Bagaimana seseorang bersikap, apabila keikhlasan suatu amal yang dia kerjakan ternodai? Sebab tak jarang orang yang menghadapi masalah ini lantas surut dari berbuat kebaikan, khawatir terkena riya’.

Abu Thalib al-Makki berkata, “Seseorang tidak boleh meninggalkan amal shalih karena takut terkena penyakit pada amal, karena memang itulah yang dikehendakai oleh musuhnya (syetan). Tetapi dia harus kembali kepada niatnya semula, niat yang benar. Jika amal tersebut tersusupi oleh penyakit, maka hendaknya ia segera mencari obatnya, berusaha menghilangkannya dan tetap pada niat yang benar dan tujuan yang baik. Tidak boleh meninggalkan suatu amalan karena manusia, atau karena malu terhadap mereka. Sebab beramal karena manusia adalah syirik, dan meninggalkannya karena mereka adalah riya’. Meninggalkan amal karena khawatir akan masuknya penyakit (riya’) di dalam hati adalah kebodohan, dan meninggalkannya ketika amal tersebut sedang dilakukan (karena keikhlasannya terganggu) adalah suatu kelemahan. Siapa saja yang beramal karena Allah dan meninggalkannya juga karena Allah, maka tidak ada masalah baginya selagi masih berada dalam koridor ini, tentunya setelah ia dapat mebuang jauh jauh segala niat buruk. ”

Dapatkah Niat yang Rusak Diperbaiki?

Sebagian orang ada yang menyangka, bahwa apabila amal kebaikan dimulai dengan niat yang salah, maka amal tersebut harus ditinggalkan. Ini adalah anggapan yang salah. Niat itu dapat diperbaiki dan dibangun di atas amal perbuatan tersebut, tanpa harus meninggalkannya. Sebagian salaf ada yang pernah mencari ilmu tanpa niat yang sempurna dan benar, kemudian mereka menyadari dan akhirnya kembali kepada Allah serta memperbaiki niat mereka, memulai niat menuntut ilmu dengan niat yang benar.

Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Para salaf mencari ilmu karena Allah, sehingga mereka menjadi mulia dan menjadi imam yang diteladani.” Ada juga di antara mereka yang mulanya mencari ilmu bukan karena Allah, setelah mereka mendapatkan ilmu mereka introspeksi diri, maka ilmu mereka telah mengantarkan mereka kepada keikhlasan di tengah jalan. Mujahid berkata, “Kami mencari ilmu, dan pada mulanya kami tidak memiliki niat yang benar, kemudian Allah mengaruniakan niat kepada kami.”

Keikhlasan Yang Ternodai

Seseorang yang telah berusaha beramal dengan ikhlas, namun ternyata masih ada noda yang mengotorinya, seperti kealpaan atau syahwat, maka pahala amalnya tidak hilang secara keseluruhan. Ini merupakan keutamaan dari Allah untuk hamba-hamba Nya, sehingga kaum muslimin tidak terjatuh ke dalam keputusasaan dan kesempitan hidup. Kotoran-kotoran yang semacam ini sangat sulit dihilangkan, kecuali sebagian kecil saja. Namun demikian bukan berarti, bahwa noda tersebut tidak berpengaruh terhadap amal, ia tetap membuat pahala suatu amal menjadi berkurang kesempurnaannya, namun tidak sampai kepada tingkat menghapuskannya sama sekali.

Oleh karena itu seorang hamba setelah berusaha semaksimal mungkin, hendaknya senantiasa khawatir antara ditolak dan diterima amal perbuatannya, takut kalau amal ibadahnya terdapat penyakit yang bahayanya lebih besar daripada pahalanya. Karena itu jangan sampai ada ujub dan bangga dengan amalnya, dan bahkan terus meningkatkan kualitasnya.

Memperlihatkan Amal Kebaikan

Memang, pada dasarnya amal kabaikan haruslah disembunyikan dan tidak perlu di tampakkan kepada orang lain, kecuali yang memang harus ditampakkan seperti shalat berjama’ah dan haji. Namun dalam keadaan tertentu memperlihatkan amal shalih dapat dibenarkan asalkan memenuhi syarat, yaitu:

Pertama, bebas dari riya’ (bukan untuk pamer)

Kedua, terdapat faedah diniyah dari menampakkannya.

Misalnya untuk memberikan contoh kebaikan, menguatkan orang yang lemah, atau untuk menenangkan dan memberikan kabar gembira. Seperti yang pernah dikatakan Abu Sufyan bin Harits, salah seorang paman Nabi menjelang wafatnya, “Janganlah kalian menangisi aku, karena sejak masuk Islam aku tidak pernah melakukan dosa.”

0 komentar: