Titik Tolak


Orang-orang mukmin berharap Allah mengampuninya dan memasukkannya ke dalam syurga dan ini merupakan kemenangan besar yg kita raih dengan sekedar melewati pintu syurga beberpa langkah. Apabila kita hidup diantara dua waktu dalam sekejap yang penuh kenikmatan, maka kita tak puas dgn berjalan di pintu saja dan tdk pula berada di kediaman-kediamannya yang indah akan tetapi juga berada di tempat yang tinggi di ‘illiyyin dan firdaus.

‘siapa mengharap tempat puncak di surga, maka ia harus berada di tempat puncak di dalam kehidupan dunia ini ’.

Sebagaimana yg kita ketahui bahwa derajat yang paling tinggi di dunia ini tak lain adalah derajat dakwah kepada Allah, sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Abdul Qadir al-Qilani rahimahullah di dalam kitabnya yang lain yang diberinya nama Futuhul-Ghaib. Menurutnya orang yang menang adalah yang dipilih oleh Allah.

“dan dijadikanNya tokoh dan da’I bagi para hamba, penyampaian peringatan kepada mereka, hujjah di tengah mereka, dan pemberi petunjuk lagi di beri petunjuk”
Dan,
“inilah derajat tertinggi di tengah bani Adam. Tidak ada derajat yang mengungguli derajatnya kecuali kenabian”.

• Mukmin yang Bisu Tertinggal

Pada saat di padang mahsyar nanti kita tidak mengetahui siapakah yang akan memasuki syurga pada urutan pertama dan siapa yang akan menunggu lama sebelum memasukinya? Karena itu, al-Kailani rahimahullah menetapkan pemahaman seorang da’I tentang kewajibannya dalam mengubah kebatilan dan membela kebenaran sebagai anegerah rabbaniyah bagi orang yang di ketahui Allah keshalihan hati mereka.

Pada buku ini Syeikh al-Kailani berpendapat bahwa orang lain yang berada di bawah derajatnya adalah ‘hati tanpa lisan, yaitu mu’min yang di tabir Allah ‘Azza wa Jalla dari makhluk-Nya, dan di payungi dengan penjagaan-Nya diperlihatkan olehNya aib-aib dirinya dan disinari hatinya ’…

Karna orang mukmin ini tidak punya lisan, maka derajatnya turun tertinggal. Ia tak mendapatkan kehormatan dan kebesaran yang ada pada kelompok pertama yaitu tokoh, da’i dan hujjah. Perbedaan disini adalah perbedaan dakwah dan perbedaan iman yang tertabr dan terpencil. Sebab perbedaan itu adalah lisan yang mengucapkan kebenaran dan bukan sesuatu yang lain.(indikator)
Maksudnya disini adalah bahwa seorang dai yang menyeru pada kebenaran kepada orang lain adalah lebih baik dari pada mukmin berilmu akan tetapi ilmu itu tidak di transfer atau tidak di salurkan pada masyarakat secara umum.

• Menyambung Masa Lalu dengan Masa Depan

Dakwah membutuhkan pada dai yang mempunyai pandangan perubahan secara kesinambungan. Para da’I mengetahui secara baik bahwa di pundak mereka ada beban/tugas risalah bahwa mereka harus menyampaikan sebuah kebaikan (ilmu), menyadari posisi mereka dalam gerbong dakwah yang sedang berjalan dan bahwa mereka adalah mata rantai yang menyambung masa lalu dengan masa depan.

Berdakwah di ibaratkan sebagai sebuah proses penanaman, dahulu pada suyuh kita yang menanamkan nilai2 dakwah yang saat ini bisa kita rasakan dan sekarang adalah masa/ kewajiban kitapun u melakukan yang sama agar penerus kita nantinya dapat merasakan buah dari proses penanaman dahulu.

Dan penanaman itu butuh pembauran dengan umat, bertatap muka dengan mereka, dan menyatakan kebenaran dengan terang-terangan. Sedangakan pilihan khalwat dan meninggalkan perjuangan melawan pemikiran-pemikiran dan kerusakan-kerusakan etika bukanlah solusi. Satu hal yang harus di tekankan oleh para dai adalah bahwa pelarian terhadap perjuangan pada perkaran hina adalah kehinaan itu sendiri.

Mushthafa Shadiq ar-Rafi’i mengatakan:
’demi Allah, orang yang melarikan diri dari perjuangan melawan perkara-perkara hina seluruhnya itulah orang-orang yang meninggalkan ke utamaan-keutamaan seluruhnya’.

Yang menjadi permasalahan saat ini bukan lah disebabkan oleh kurangnya kuantitas pada da’i, bukan juga terletak pada minimnya komitmen mereka terhadap ke islaman karna di setiap belahan bumi/kawasan islam masih ada pemuda-pemuda baik yang banyak jumlahnya. Akan tetapi permasalannya adalah mereka tidak mendeklarasikan ke islaman mereka dan tidak berdakwah, atau berdakwah namun tanpa koordinasi di antara mereka.

Imam Ahmad Melakukan Tajmi’ (Penghimpunan)

Tugas da’i adalah membidik orang2 pilihan masyarakat, melakukan kontak dgn mereka, mengenal mereka, mengunjungi mereka, mengajari mereka cara menyatukan perjuangan-perjuangan islam dan koordinasinya.

Inilah yang di lakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, jika beliau mendengar bahwa di suatu daerah ada seorang shalih, zuhud, melaksanakan kebenaran maka belaiu akan mencarinya.

Kita tahu bahwa saat ini tidak disebut seseorang sebagai dai kecuali orang yang mau mempelajari dan mengkaji masyarakat, menanyakan kondisi mereka, mengunjungi mereka di majlis-majlis dan di pertemuan-pertemuan mereka.
Disini Imam Ahmad bin Hanbal mengajarkan pada kita bahwa seorang dai sejati harusnyalah seseorang yang dekat dan mengetahui kondisi masyarakat yang ada disekitarnya. Mengajarkan kebenaran lewat Al Quran dan Sunnah.

Saat ini dan kapanpun seorang dai haruslah dekat dengan masyarakat sekitarnya, berhubungan dengan mereka, mengikuti majlis-majlis yang mereka ikuti. Saat ini Islam tidak lah memerlukan kajian-kajian fiqh saja akan tetapi sangat memerlukan para dai yang bahu membahu dalam mengemban risalah dakwah ini.

Sumber:
Muhammad Ahmad ar-Rasyid
Titik Tolak
(Landasan Gerak Para Aktivis Dakwah )

0 komentar: